Definis Konflik
Stephen Robbins dalam bukunya Organization Behavior (1996) mendefiniskan Konflik adalah Suatu proses yang mulai bila satu pihak merasakan bahwa suatu pihak merasakan pihak lain telah mempengaruhi secara negatif, atau akan segera mempengaruhi secara negatif, sesuatu yang diperhatikan pihak pertama. Sementara Wirawan dalam bukunya tentang Manajemen Konflik (2010) mendefiniskan konflik adalah proses pertentangan yang diekspresikan diantara dua pihak atau lebih yang saling tergantung mengenai objek konflik, menggunakan pola perilaku dan interaksi konflik yang menghasilkan keluaran konflik.
Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa konflik terjadi dikarenakan adanya proses yang terjadi di kedua belah pihak yang masing-masing pihak terpengaruh secara negatif yang menimbulkan pertentangan di antara kedua belah pihak. Konflik di Cikeusik Padeglang Banten dan Konflik di Temanggung serta konflik-konflik lain yang ada di Indonesia lebih dikarenakan adanya proses terjadinya konflik yaitu adanya pertentangan, kalau di Cikeusik antara Pihak Ahmadiyah dan sekelompok oknum umat muslim, dan di Temanggung antara sekelompok oknum umat muslim yang tidak setuju atas vonis pengadilan sehingga menimbulkan amarahan dengan cara membakar sekolah kristen dan gereja.
Jenis Konflik
Terdapat
berbagai macam jenis konflik, tergantung pada dasar yang digunakan
untuk membuat klasifikasi. Ada yang membagi konflik berdasarkan
pihak-pihak yang terlibat di dalamnya, ada yang membagi konflik dilihat
dari fungsi dan ada juga yang membagi konflik dilihat dari posisi
seseorang dalam suatu organisasi.a. Konflik Dilihat dari Posisi Seseorang dalam Struktur Organisasi
Jenis konflik ini disebut juga konflik intra keorganisasian. Dilihat dari posisi seseorang dalam struktur organisasi, Winardi membagi konflik menjadi empat macam. Keempat jenis konflik tersebut adalah sebagai berikut :
1) Konflik vertikal, yaitu konflik yang terjadi antara karyawan yang memiliki kedudukan yang tidak sama
dalam organisasi. Misalnya, antara atasan dan bawahan.
2) Konflik horizontal, yaitu konflik yang terjandi antara mereka yang memiliki kedudukan yang sama atau
setingkat dalam organisasi. Misalnya, konflik antar karyawan, atau antar departemen yang setingkat.
3) Konflik garis-staf, yaitu konflik yang terjadi antara karyawan lini yang biasanya memegang posisi
komando, dengan pejabat staf yang biasanya berfungsi sebagai penasehat dalam organisasi.
4) Konflik peranan, yaitu konflik yang terjadi karena seseorang mengemban lebih dari satu peran yang saling
bertentangan.
b. Konflik Dilihat dari Pihak yang Terlibat di Dalamnya
Berdasarkan pihak-pihak yang terlibat di dalam konflik, Stoner membagi konflik menjadi lima macam , yaitu:
1) Konflik dalam diri individu (conflict within the individual). Konflik ini terjadi jika seseorang harus memilih tujuan yang saling bertentangan, atau karena tuntutan tugas yang melebihi batas kemampuannya. Termasuk dalam konflik individual ini, menurut Altman, adalah frustasi, konflik tujuan dan konflik peranan .
2) Konflik antar-individu (conflict between individuals). Terjadi karena perbedaan kepribadian antara individu yang satu dengan individu yang lain.
3) Konflik antara individu dan kelompok (conflict between individuals and groups). Terjadi jika individu gagal menyesuaikan diri dengan norma-norma kelompok tempat ia bekerja.
4) Konflik antar kelompok dalam organisasi yang sama (conflict among groups in the same organization). Konflik ini terjadi karena masing-masing kelompok memiliki tujuan yang berbeda dan masing-masing berupaya untuk mencapainya.
Masalah ini terjadi karena pada saat kelompok-kelompok makin terikat dengan tujuan atau norma mereka sendiri, mereka makin kompetitif satu sama lain dan berusaha mengacau aktivitas pesaing mereka, dan karenanya hal ini mempengaruhi organisasi secara keseluruhan .
5) Konflik antar organisasi (conflict among organizations). Konflik ini terjadi jika tindakan yang dilakukan oleh organisasi menimbulkan dampak negatif bagi organisasi lainnya. Misalnya, dalam perebutan sumberdaya yang sama.
Ciri-Ciri Konflik :
Menurut Wijono( 1993 : 37) Ciri-ciri Konflik adalah :
1. Setidak-tidaknya ada dua pihak secara perseorangan maupun kelompok yang terlibat dalam suatu interaksi yang saling bertentangan.
2. Paling tidak timbul pertentangan antara dua pihak secara perseorangan maupun kelompok dalam mencapai tujuan, memainkan peran dan ambigius atau adanya nilai-nilai atau norma yang saling berlawanan.
3. Munculnya interaksi yang seringkali ditandai oleh gejala-gejala perilaku yang direncanakan untuk saling meniadakan, mengurangi, dan menekan terhadap pihak lain agar dapat memperoleh keuntungan seperti: status, jabatan, tanggung jawab, pemenuhan berbagai macam kebutuhan fisik: sandang- pangan, materi dan kesejahteraan atau tunjangan-tunjangan tertentu: mobil, rumah, bonus, atau pemenuhan kebutuhan sosio-psikologis seperti: rasa aman, kepercayaan diri, kasih, penghargaan dan aktualisasi diri.
4. Munculnya tindakan yang saling berhadap-hadapan sebagai akibat pertentangan yang berlarut-larut.
5. Munculnya ketidakseimbangan akibat dari usaha masing-masing pihak yang terkait dengan kedudukan, status sosial, pangkat, golongan, kewibawaan, kekuasaan, harga diri, prestise dan sebagainya.
Penyebab Konflik
Konflik di dalam organisasi dapat disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut:A. Faktor Manusia
1. Ditimbulkan oleh atasan, terutama karena gaya kepemimpinannya.
2. Personil yang mempertahankan peraturan-peraturan secara kaku.
3. Timbul karena ciri-ciri kepriba-dian individual, antara lain sikap egoistis, temperamental, sikap fanatik, dan sikap otoriter.
B. Faktor Organisasi
1. Persaingan dalam menggunakan sumberdaya.
Apabila sumberdaya baik berupa uang, material, atau sarana lainnya terbatas atau dibatasi, maka dapat timbul persaingan dalam penggunaannya. Ini merupakan potensi terjadinya konflik antar unit/departemen dalam suatu organisasi.
2. Perbedaan tujuan antar unit-unit organisasi.
Tiap-tiap unit dalam organisasi mempunyai spesialisasi dalam fungsi, tugas, dan bidangnya. Perbedaan ini sering mengarah pada konflik minat antar unit tersebut. Misalnya, unit penjualan menginginkan harga yang relatif rendah dengan tujuan untuk lebih menarik konsumen, sementara unit produksi menginginkan harga yang tinggi dengan tujuan untuk memajukan perusahaan.
3. Interdependensi tugas.
Konflik terjadi karena adanya saling ketergantungan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya. Kelompok yang satu tidak dapat bekerja karena menunggu hasil kerja dari kelompok lainnya.
4. Perbedaan nilai dan persepsi.
Suatu kelompok tertentu mempunyai persepsi yang negatif, karena merasa mendapat perlakuan yang tidak “adil”. Para manajer yang relatif muda memiliki presepsi bahwa mereka mendapat tugas-tugas yang cukup berat, rutin dan rumit, sedangkan para manajer senior men¬dapat tugas yang ringan dan sederhana.
5. Kekaburan yurisdiksional. Konflik terjadi karena batas-batas aturan tidak jelas, yaitu adanya tanggung jawab yang tumpang tindih.
6. Masalah “status”. Konflik dapat terjadi karena suatu unit/departemen mencoba memperbaiki dan meningkatkan status, sedangkan unit/departemen yang lain menganggap sebagai sesuatu yang mengancam posisinya dalam status hirarki organisasi.
7. Hambatan komunikasi. Hambatan komunikasi, baik dalam perencanaan, pengawasan, koordinasi bahkan kepemimpinan dapat menimbulkan konflik antar unit/ departemen. (Jika Anda ingin mendapatkan slide presentasi yang bagus tentang management skills dan personal development, .
Akibat-akibat Konflik
Konflik dapat berakibat negatif maupun positif tergantung pada cara mengelola konflik tersebut.Akibat negatif
• Menghambat komunikasi.
• Mengganggu kohesi (keeratan hubungan).
• Mengganggu kerjasama atau “team work”.
• Mengganggu proses produksi, bahkan dapat menurunkan produksi.
• Menumbuhkan ketidakpuasan terhadap pekerjaan.
• Individu atau personil menga-lami tekanan (stress), mengganggu konsentrasi, menimbulkan kecemasan, mangkir, menarik diri, frustrasi, dan apatisme.
Akibat Positif dari konflik:
• Membuat organisasi tetap hidup dan harmonis.
• Berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungan.
• Melakukan adaptasi, sehingga dapat terjadi perubahan dan per-baikan dalam sistem dan prosedur, mekanisme, program, bahkan tujuan organisasi.
• Memunculkan keputusan-keputusan yang bersifat inovatif.
• Memunculkan persepsi yang lebih kritis terhadap perbedaan pendapat.
Sumber Konflik
Ada beberapa hal yang merupakan sumber konflik adapun konflik itu terjadi di tengah masyarakat disebabkan :
Perbedaan individu, yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan.
Setiap manusia adalah individu yang
unik. Artinya, setiap orang memiliki pendirian dan perasaan yang
berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan
sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor
penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial,
seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya. Misalnya, ketika
berlangsung pentas musik di lingkungan pemukiman, tentu perasaan setiap
warganya akan berbeda-beda. Ada yang merasa terganggu karena berisik,
tetapi ada pula yang merasa terhibur.
Seseorang sedikit banyak akan
terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendirian kelompoknya.
Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya akan menghasilkan
perbedaan individu yang dapat memicu konflik.
Manusia memiliki perasaan, pendirian
maupun latar belakang kebudayaan yang berbeda. Oleh sebab itu, dalam
waktu yang bersamaan, masing-masing orang atau kelompok memiliki
kepentingan yang berbeda-beda. Kadang-kadang orang dapat melakukan hal
yang sama, tetapi untuk tujuan yang berbeda-beda. Sebagai contoh,
misalnya perbedaan kepentingan dalam hal pemanfaatan hutan. Para tokoh
masyarakat menanggap hutan sebagai kekayaan budaya yang menjadi bagian
dari kebudayaan mereka sehingga harus dijaga dan tidak boleh ditebang.
Para petani menbang pohon-pohon karena dianggap sebagai penghalang bagi
mereka untuk membuat kebun atau ladang. Bagi para pengusaha kayu,
pohon-pohon ditebang dan kemudian kayunya diekspor guna mendapatkan
uang dan membuka pekerjaan. Sedangkan bagi pecinta lingkungan, hutan
adalah bagian dari lingkungan sehingga harus dilestarikan. Di sini
jelas terlihat ada perbedaan kepentingan antara satu kelompok dengan
kelompok lainnya sehingga akan mendatangkan konflik sosial di
masyarakat. Konflik akibat perbedaan kepentingan ini dapat pula
menyangkut bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Begitu pula
dapat terjadi antar kelompok atau antara kelompok dengan individu,
misalnya konflik antara kelompok buruh dengan pengusaha yang terjadi
karena perbedaan kepentingan di antara keduanya. Para buruh
menginginkan upah yang memadai, sedangkan pengusaha menginginkan
pendapatan yang besar untuk dinikmati sendiri dan memperbesar bidang
serta volume usaha mereka.
Perubahan adalah sesuatu yang lazim
dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu berlangsung cepat atau
bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu terjadinya konflik
sosial. Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang mengalami proses
industrialisasi yang mendadak akan memunculkan konflik sosial sebab
nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang biasanya bercorak
pertanian secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri.
Nilai-nilai yang berubah itu seperti nilai kegotongroyongan berganti
menjadi nilai kontrak kerja dengan upah yang disesuaikan menurut jenis
pekerjaannya. Hubungan kekerabatan bergeser menjadi hubungan struktural
yang disusun dalam organisasi formal perusahaan. Nilai-nilai
kebersamaan berubah menjadi individualis dan nilai-nilai tentang
pemanfaatan waktu yang cenderung tidak ketat berubah menjadi pembagian
waktu yang tegas seperti jadwal kerja dan istirahat dalam dunia
industri. Perubahan-perubahan ini, jika terjadi seara cepat atau
mendadak, akan membuat kegoncangan proses-proses sosial di masyarakat,
bahkan akan terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan
karena dianggap mengacaukan tatanan kehiodupan masyarakat yang telah
ada.
METODE PENGELOLAAN KONFLIK
Metode Stimulasi Konflik
Metode
stimulasi konflik digunakan untuk menimbulkan rangsangan karyawan
karena karyawan pasif yang disebabkan oleh situasi dimana konflik
terlalu rendah. Rintangan semacam ini harus diatasi oleh manajer untuk
merangsang konflik yang produktif.
Metode stimulasi konflik meliputi :
1) pemasukan atau penempatan orang luar ke dalam kelompok
2) penyusunan kembali organisasi,
3) penawaran bonus, pembayaran intensif dan penghargaan untuk mendorong persiapan,
4) pemilihan manajer-manajer yang tepat dan
5) perlakuan yang berbeda dengan kebiasaan.
Metode Pengurangan Konflik
Biasanya
para manajer lebih mementingkan upaya mengurangi konflik dari pada
upaya menstimulasi konflik-konflik. Metode pengurangan konflik
mengurangi antagonisme yang timbul karena konflik. Jadi, metode-metode
tersebut manajer konflik dengan jalan “mendinginkan situasi yang
panas”. Tetapi, mereka sama sekali tidak mempersoalkan kausa yang
menyebabkan timbulnya konflik orisinal tersebut.
Ingat contoh eksperimen yang
dilakukan oleh sherief dan kawan-kawannya, yang suatu konflik pada
kamp anak-anak muda tersebut menjadi makin intensip dan disruptif,
menerapkan eksperimen-eksperimen berupa penerapan mereka aneka macam
cara untuk mengembalikan harmoni antara kelompok-kelompok yang ada.
Pertama-tama mereka mencoba menerapkan tiga macam metode yang ternyata tidak efektif sama sekali.
- Mereka menyediakan informasi kepada masing-masing kelompok tentang kelompok lain. Akan tetapi tersebut demikian bertentangan dengan impresi negatif yang telah muncul dalam pikiran-pikiran anak-anak muda tersebut, sehingga mereka menolaknya
- Mereka memperbanyak kontak-kontak yang menyenangkan antara kelompok-kelompok yang ada, dengan jalan menyuruh mereka makan bersama dan menonton film, tetapi ternyata friksi semakin meningkat, sewaktu kelompok-kelompok yang bersaing mendesak-desak anggota lain dari bangku-bangku duduk, dan mereka saling mengejek.
- Mereka meminta agar para pemimpin kelompok mengadakan perundingan dan memberikan informasi positif tentang masing-masing kelompok yang ada. Tetapi ternyata bahwa para pemimpin tersebut merasa bahwa mereka akan kehilangan muka apabila mereka mencoba menyelesaikan perbedaan-perbedaan antara kelompok-kelompok yang ada.
Akhirnya ternyata bahwa dua buah metode yang diterapkan memberikan hasil yang diharapkan.
Pada
pendekatan pertama yang bersifat efektif, para periset mensubtitusi
tujuan-tujuan luhur (superior) yang diterima oleh kelompok-kelompok
yang ada sebagai pengganti tujuan-tujuan kompetitif yang menyebabkan
mereka terpisah satu sama lain. Sebagai contoh dikatakan kepada
anak-anak muda tersebut bahwa kamp tersebut tidak mampu menyewa project
film dari luar, karena kekurangan dana. Spontan kedua kelompok
berpatungan dalam hal pengumpulan uang untuk tujuan tersebut dan
ternyata bahwa upaya bersama mereka berhasil meredakan tingkat konflik
yang terjadi.
Metode efektif
kedua adalah mempersatukan kelompok-kelompok yang ada dengan jalan
mengadakan menghadapkan mereka dengan sebuah bahaya yang mengancam
mereka semua atau ‘musuh’ bersama yang dihadapi oleh mereka.
Kelompok-kelompok secara
terpisah, tidak mampu menarik truk yang mengangkut mereka ketempat
reparasi, tetapi, dengan bekerja sama hal itu dapat dilaksanakan dengan
baiknya. Tindakan kerjasama dan sikap persahabatan antara
anggota-anggota kelompok yang ada.
Metode
ini mengurangi permusuhan (antagonis) yang ditimbulkan oleh konflik
dengan mengelola tingkat konflik melalui pendinginan suasana akan
tetapi tidak berurusan dengan masalah yang pada awalnya menimbulkan
konflik itu.
Metode pertama
adalah mengganti tujuan yang menimbulkan persaingan dengan tujuan yang
lebih bisa diterima kedua kelompok metode kedua mempersatukan kelompok
tersebut untuk menghadapi ancaman atau musuh yang sama.
Metode Penyelesaian Konflik
Metode ini dapat terjadi melalui cara-cara
1) kekerasan (forcing) yang bersifat penekanan otokratik;
2) penenangan (smolling) yaitu cara yang lebih diplomatis;
3) penghindaran (avoidance) dimana manajer menghindari untuk mengambil posisi yang tegas;
4) penentuan melalui suara terbanyak (majority rule) mencoba untuk menyelesaikan konflik antar kelompok prosedur yang adil.
Keberadaan teori konflik muncul
setelah fungsionalisme, namun sesungguhnya teori konflik sebenarnya
sama saja dengan suatu sikap kritis terhadap Marxisme Ortodox. Seperti
Ralp Dahrendorf, yang membicarakan tentang konflik antara
kelompok-kelompok terkoordinasi (imperality coordinated association),
dan bukan analisis perjuangan kelas, lalu tentang elit dominan,
daripada pengaturan kelas, dan manajemen pekerja dari pada modal dan
buruh.
Dahendorf menolak utopia teori
fungsionalisme yang lebih menekankan konsensus dalam sistem sosial
secara berlebihan. Wajah masyarakat menurutnya tidak selalu dalam
kondisi terintegrasi, harmonis, dan saling memenuhi, tetapi ada wajah
lain yang memperlihatkan konflik dan perubahan. Baginya, pelembagaan
melibatkan dunia kelompok-kelompok terkoordinasi (imperatively
coordinated association), dimana, istilah-istilah dari kriteria tidak
khusus, mewakili peran-peran organisasi yang dapat dibedakan. Organisasi
ini dikarakteri oleh hubungan kekuasaan (power), dengan beberapa
kelompok peranan mempunyai kekuasaan memaksakan dari yang lainnya.
Saat kekuasaan merupakan tekanan
(coersive) satu sama lain, kekuasaan dalam hubungan kelompok-kelompok
terkoordinasi ini memeliharanya menjadi legitimate dan oleh sebab itu
dapat dilihat sebagai hubungan ‘authority” dimana, beberapa posisi
mempunyai hak normatif untuk menentukan atau memperlakukan yang lain,
sehingga tatanan sosial menurut Dahrendorf, dipelihara oleh proses
penciptaan hubungan-hubungan wewenang dalam bermacam-macam tipe kelompok
terkoordinasi yang ada hingga seluruh lapisan sistem sosial. Kekuasaan
dan wewenang adalah sumber langka yang membuat kelompok-kelompok
saling bersaing.
Revolusi dan konflik antara
kelompok-kelompok itu adalah redistribusi kekuasaan atau wewenang,
kemudian menjadikan konflik itu sebagai sumber dari perubahan dalam
sistem sosial. Selanjutnya kelompok peran baru memegang kunci kekuasaan
dan wewenang dan yang lainnya dalam posisi di bawahnya yang diatur.
Redistribusi kekuasaan dan wewenang merupakan pelembagaan dari kelompok
peranan baru yang mengatur (ruling roles) versus peranan yang diatur
(ruled roles), dimana dalam kondisi khusus kontes perebutan wewenang
akan kembali muncul dengan inisiatif kelompok kepentingan yang ada, dan
dengan situasi kondisi yang bisa berbeda. sehingga kenyataan sosial
merupakan siklus tak berakhir dari adanya konflik wewenang dalam
bermacam-macam tipe kelompok terkoordinasi dari sistem sosial.
Konflik
sosial dalam teori ini berasal dari upaya merebut dan mempertahankan
wewenang dan kekuasaan antara kelompok-kelompok sosial yang ada di
dalamnya. Hanya dalam bentuk wewenang dan kekuasaan.
Teori-Teori Motivasi
Secara garis
besar, teori motivasi dikelompokkan ke dalam tiga kelompok yaitu teori motivasi
dengan pendekatan isi/kepuasan (content theory), teori motivasi dengan pendekatan
proses (process theory) dan teori motivasi dengan pendekatan penguat
(reinforcement theory).Motivasi dapat diartikan sebagai kekuatan (energi)
seseorang yang dapat menimbulkan tingkat persistensi dan entusiasmenya dalam
melaksanakan suatu kegiatan, baik yang bersumber dari dalam diri individu itu
sendiri (motivasi intrinsik) maupun dari luar individu (motivasi ekstrinsik).
Seberapa
kuat motivasi yang dimiliki individu akan banyak menentukan terhadap kualitas
perilaku yang ditampilkannya, baik dalam konteks belajar, bekerja maupun dalam
kehidupan lainnya.. Kajian tentang motivasi telah sejak lama memiliki daya
tarik tersendiri bagi kalangan pendidik, manajer, dan peneliti, terutama
dikaitkan dengan kepentingan upaya pencapaian kinerja (prestasi) seseorang.
Dalam konteks studi psikologi, Abin Syamsuddin Makmun (2003) mengemukakan bahwa
untuk memahami motivasi individu dapat dilihat dari beberapa indikator,
diantaranya:
1. Durasi kegiatan
2. Frekuensi kegiatan
3. Persistensi pada kegiatan
4. Ketabahan, keuletan dan kemampuan
dalam mengahadapi rintangan dan kesulitan;
5. Devosi dan pengorbanan untuk
mencapai tujuan
6. Tingkat aspirasi yang hendak dicapai
dengan kegiatan yang dilakukan
7. Tingkat kualifikasi prestasi atau
produk (out put) yang dicapai dari kegiatan yang dilakukan
8. Arah sikap terhadap sasaran kegiatan
Untuk
memahami tentang motivasi, kita akan bertemu dengan beberapa teori tentang
motivasi, antara lain :
· Teori Hierarki Kebutuhan Maslow
Kebutuhan dapat didefinisikan sebagai suatu
kesenjangan atau pertentangan yang dialami antara satu kenyataan dengan
dorongan yang ada dalam diri. Apabila pegawai kebutuhannya tidak terpenuhi maka
pegawai tersebut akan menunjukkan perilaku kecewa. Sebaliknya, jika
kebutuhannya terpenuhi amak pegawai tersebut akan memperlihatkan perilaku yang
gembira sebagai manifestasi dari rasa puasnya.
Kebutuhan merupakan fundamen yang mendasari perilaku
pegawai. Karena tidak mungkin memahami perilaku tanpa mengerti kebutuhannya.
Abraham Maslow (Mangkunegara, 2005) mengemukakan bahwa
hierarki kebutuhan manusia adalah sebagai berikut :
1. Kebutuhan fisiologis, yaitu kebutuhan untuk makan,
minum, perlindungan fisik, bernapas, seksual. Kebutuhan ini merupakan kebutuhan
tingkat terendah atau disebut pula sebagai kebutuhan yang paling dasar
2. Kebutuhan rasa aman, yaitu kebutuhan akan perlindungan
diri dari ancaman, bahaya, pertentangan, dan lingkungan hidup
3. Kebutuhan untuk rasa memiliki (sosial), yaitu
kebutuhan untuk diterima oleh kelompok, berafiliasi, berinteraksi, dan
kebutuhan untuk mencintai serta dicintai
4. Kebutuhan akan harga diri, yaitu kebutuhan untuk
dihormati dan dihargai oleh orang lain
5. Kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri, yaitu
kebutuhan untuk menggunakan kemampuan, skill dan potensi. Kebutuhan untuk
berpendapat dengan mengemukakan ide-ide, gagasan dan kritik terhadap sesuatu
· Teori Keadilan
Keadilan merupakan daya penggerak yang memotivasi
semangat kerja seseorang, jadi perusahaan harus bertindak adil terhadap
setiap karyawannya. Penilaian dan pengakuan mengenai perilaku karyawan harus
dilakukan secara obyektif. Teori ini melihat perbandingan seseorang dengan
orang lain sebagai referensi berdasarkan input dan juga hasil atau kontribusi
masing-masing karyawan (Robbins, 2007).
· Teori X dan Y
Douglas McGregor mengemukakan pandangan nyata mengenai
manusia. Pandangan pertama pada dasarnya negative disebut teori X, dan yang
kedua pada dasarnya positif disebut teori Y (Robbins, 2007).
McGregor menyimpulkan bahwa pandangan manajer
mengenai sifat manusia didasarkan atas beberapa kelompok asumsi tertentu dan
bahwa mereka cenderung membentuk perilaku mereka terhadap karyawan berdasarkan
asumsi-asumsi tersebut.
· Teori dua Faktor Herzberg
Teori ini dikemukakan oleh Frederick Herzberg dengan
asumsi bahwa hubungan seorang individu dengan pekerjaan adalah mendasar dan
bahwa sikap individu terhadap pekerjaan bias sangat baik menentukan
keberhasilan atau kegagalan. (Robbins, 2007).
Herzberg memandang bahwa kepuasan kerja berasal dari
keberadaan motivator intrinsik dan bawa ketidakpuasan kerja berasal dari
ketidakberadaan faktor-faktor ekstrinsik. Faktor-faktor ekstrinsik (konteks
pekerjaan) meliputi :
1. Upah
2. Kondisi kerja
3. Keamanan kerja
4. Status
5. Prosedur perusahaan
6. Mutu penyeliaan
7. Mutu hubungan interpersonal antar sesama rekan kerja,
atasan, dan bawahan
Keberadaan
kondisi-kondisi ini terhadap kepuasan karyawan tidak selalu memotivasi mereka.
Tetapi ketidakberadaannya menyebabkan ketidakpuasan bagi karyawan, karena
mereka perlu mempertahankan setidaknya suatu tingkat ”tidak ada kepuasan”,
kondisi ekstrinsik disebut ketidakpuasan,atau faktor hygiene. Faktor Intrinsik
meliputi :
1. Pencapaian prestasi
2. Pengakuan
3. Tanggung Jawab
4. Kemajuan
5. Pekerjaan itu sendiri
6. Kemungkinan berkembang.
Tidak adanya
kondisi-kondisi ini bukan berarti membuktikan kondisi sangat tidak puas. Tetapi
jika ada, akan membentuk motivasi yang kuat yang menghasilkan prestasi kerja
yang baik. Oleh karena itu, faktor ekstrinsik tersebut disebut sebagai pemuas
atau motivator.
· Teori Kebutuhan McClelland
Teori kebutuhan McClelland dikemukakan oleh David
McClelland dan kawan-kawannya. Teori ini berfokus pada tiga kebutuhan, yaitu
(Robbins, 2007) :
a. Kebutuhan pencapaian (need for achievement) : Dorongan
untuk berprestasi dan mengungguli, mencapai standar-standar, dan berusaha keras
untuk berhasil.
b. Kebutuhan akan kekuatan (need for pewer) : kebutuhan
untuk membuat orang lain berperilaku sedemikian rupa sehingga mereka tidak akan
berperilaku sebaliknya.
c. Kebutuhan hubungan (need for affiliation) : Hasrat
untuk hubungan antar pribadi yang ramah dan akrab.
Apa yang
tercakup dalam teori yang mengaitkan imbalan dengan prestasi seseorang individu
. Menurut model ini, motivasi seorang individu sangat dipengaruhi oleh berbagai
faktor, baik yang bersifat internal maupun eksternal. Termasuk pada faktor
internal adalah :
a. Persepsi seseorang mengenai diri sendiri
b. Harga diri
c. Harapan pribadi
d. Kebutuhaan
e. Keinginan
f. Kepuasan kerja
g. Prestasi kerja yang dihasilkan.
Sedangkan
faktor eksternal mempengaruhi motivasi seseorang, antara lain ialah :
a. Jenis dan sifat pekerjaan
b. Kelompok kerja dimana seseorang bergabung
c. Organisasi tempat bekerja
d. Situasi lingkungan pada umumnya
e. Sistem imbalan yang berlaku dan cara penerapannya.
Sumber : http://bierbios.blogspot.com/2011/12/konflik-organisasi.html
http://tkampus.blogspot.com/2012/04/pengertian-motivasi-dan-teori-teori.html
+ comments + 1 comments
Bolavita Agen Casino Lvie Terpopuler dengan Permainan Terlengkap !
Minimal Deposit 50ribu saja , NIkmati Bonus Rollingan yang di bagikan ratusan juta setiap minggunya Oleh Bolavita !
Info selengkapnya bisa hubungi :
WA : +62812-2222-995
BBM : BOLAVITA
Keluaran Togel Singapura Terbaru
Post a Comment