Model Kepemimpinan Soeharto

Thursday, January 24, 2013 | comments (2)




     Diawali dengan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) pada tahun 1966 kepada Letnan Jenderal Soeharto, maka Era Orde Lama berakhir diganti dengan pemerintahan Era Orde Baru. Pada awalnya sifat-sifat kepemimpinan yang baik dan menonjol dari Presiden Soeharto adalah kesederhanaan, keberanian dan kemampuan dalam mengambil inisiatif dan keputusan, tahan menderita dengan kualitas mental yang sanggup menghadapi bahaya serta konsisten dengan segala keputusan yang ditetapkan.
Gaya Kepemimpinan Presiden Soeharto merupakan gabungan dari gaya kepemimpinan Proaktif-Ekstraktif dengan Adaptif-Antisipatif, yaitu gaya kepemimpinan yang mampu menangkap peluang dan melihat tantangan sebagai sesuatu yang berdampak positif serta mempunyal visi yang jauh ke depan dan sadar akan perlunya langkah-langkah penyesuaian.
Tahun-tahun pemerintahan Suharto diwarnai dengan praktik otoritarian di mana tentara memiliki peran dominan di dalamnya. Kebijakan dwifungsi ABRI memberikan kesempatan kepada militer untuk berperan dalam bidang politik di samping perannya sebagai alat pertahanan negara. Demokrasi telah ditindas selama hampir lebih dari 30 tahun dengan mengatasnamakan kepentingan keamanan dalam negeri dengan cara pembatasan jumlah partai politik, penerapan sensor dan penahanan lawan-lawan politik. Sejumlah besar kursi pada dua lembaga perwakilan rakyat di Indonesia diberikan kepada militer, dan semua tentara serta pegawai negeri hanya dapat memberikan suara kepada satu partai penguasa Golkar.
Bila melihat dari penjelasan singkat di atas maka jelas sekali terlihat bahwa mantan Presiden Soeharto memiliki gaya kepemimpinan yang otoriter, dominan, dan sentralistis. Sebenarnya gaya kepemimpinan otoriter yang dimiliki oleh Almarhum merupakan suatu gaya kepemimpinan yang tepat pada masa awal terpilihnya Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia. Hal ini dikarenakan pada masa itu tingkat pergolakan dan situasi yang selalu tidak menentu dan juga tingkat pendidikan di Indonesia masih sangat rendah. Namun, dirasa pada awal tahun 1980-an dirasa cara memimpin Soeharto yang bersifat otoriter ini kurang tepat, karena keadaan yang terjadi di Indonesia sudah banyak berubah. Masyarakat semakin cerdas dan semakin paham tentang hakikat negara demokratis. Dengan sendirinya model kepemimpinan Soeharto tertolak oleh kultur atau masyarakat. Untuk tetap mempertahkan kekuasaannya Soeharto menggunakan cara-cara represif pada semua pihak yang melawannya.
Pada masa Orde baru, gaya kepemimpinannya adalah Otoriter/militeristik. Seorang pemimpinan yang otoriter akan menunjukan sikap yang menonjolkan “keakuannya”, antara lain dengan ciri-ciri :
  1. Kecendurangan memperlakukan para bawahannya sama dengan alat-alat lain dalam organisasi, seperti mesin, dan dengan demikian kurang menghargai harkat dan maratabat mereka.
  2. Pengutamaan orientasi terhadap pelaksanaan dan penyelesaian tugas tanpa mengaitkan pelaksanaan tugas itu dengan kepentingan dan kebutuhan para bawahannya.
  3. Pengabaian peranan para bawahan dalam proses pengambilan keputusan.

Sesuai dengan masalah dan tujuan yang penulis angkat, pengukuran gaya kepemimpinan Presiden Soeharto di sini diukur dari aspek-aspek: (1) Status kepemimpinan dan kekuasaan; (2) Orientasi pada hubungan; (3) Orientasi pada tugas; (4) Cara mempengaruhi orang lain, dan (5) Kepribadian. Maka hasil analisis menunjukkan kecenderungan-kecenderungan sebagai berikut.
Status kepemimpinan dan kekuasaan
Presiden Soeharto digambarkan sebagai seorang Kepala Negara dibanding sebagai pemimpinan organisasi lainnya. Di media ia hampir tidak pernah ditampilkan sebagai seorang individu atau pribadi. Kecenderungan ini secara jelas terlihat dari frekuensi kemunculan berita yang menunjukkan status Presiden Soeharto ketika menyampaikan pesan-pesan politik adalah sebagai Kepala Negara. Posisi berikutnya menunjukkan status Presiden Soeharto sebagai Kepala Pemerintahan, pemimpin dan juga sebagai  Ketua Dewan Pembina Golkar.
Presiden Soeharto cenderung digambarkan sebagai seorang pemimpin yang menjadi pusat kekuasaan pemerintah dan negara. Media cenderung menggambarkan Presiden Soeharto sebagai pemimpin yang lebih suka berada  di lokasi pusat kekuasaan, di Jakarta sebagai ibukota negara. Meskipun ia sering  melakukan perjalanan dinas dan pribadi/keluarga, baik di dalam maupun di luar negeri, media lebih sering menyajikan liputan tentang aktivitas komunikasi yang dilakukan Presiden Soeharto di Jakarta.
Penggambaran media yang demikian diperkuat dengan penggambaran bahwa ketika di Jakarta Presiden Soeharto lebih sering berada di Istana Negara atau Istana Merdeka dibanding tempat-tempat lainnya yang dapat berfungsi sebagai simbol kekuasaan dirinya sebagai pemimpin tertinggi dalam organisasi pemerintahan, negara,  dan organisasi-organisasi lainnya. Bahkan, ia juga digambarkan sebagai pemimpin yang lebih sering berada di Istana dibanding di  Bina Graha, kantor atau tempat ia biasanya bekerja.
Orientasi pada hubungan
Dilihat dari orientasinya pada pemeliharaan hubungan, Presiden Soeharto cenderung ditampilkan sebagai seorang pemimpin yang otoriter, atau dalam istilah Likert (1961) disebut “exploitative-authoritative”, kurang demokratis. Hasil analisis menunjukkan, dari periode ke periode berita yang beredar menunjukkan isi pesan Presiden Soeharto berfungsi menghibur, memberikan dorongan dan bimbingan serta mengundang kritik konstruktif sebagaimana umumnya pemimpin yang demokratis jumlahnya relatif kecil.
Kecuali pada periode awal kekuasaannya, Presiden Soeharto dalam berita suratkabar juga cenderung ditampilkan sebagai pemimpin yang mengutamakan hubungan dengan lembaga pemerintah yang dipimpinnya dibanding dengan lembaga-lembaga politik lainnya. Beliau lebih sering menyampaikan pesan-pesan politik kepada para pejabat pemerintah, seperti menteri, gubernur, bupati, walikota, dan pegawai negeri, dibanding kepada ketua dan anggota DPR / MPR, ketua MA, Hakim Agung, pimpinan dan anggota ABRI, ketua dan anggota Parpol, serta pimpinan dan wartawan media massa. Proporsi berita yang menunjukkan Presiden Soeharto menyampaikan pesan-pesan kepada masyarakat (termasuk para tokoh dan kalangan perguruan tinggi), dan kepada mereka yang duduk di lembaga eksekutif lebih besar dibanding proporsi berita yang menunjukkan ia menyampaikan pesan-pesan kepada pihak lainnya.
Presiden Soeharto juga cenderung ditampilkan sebagai seorang pemimpin yang lebih reaktif dibanding proaktif. Ia lebih sering memberikan tanggapan atau respon terhadap pernyataan orang lain dibanding menunjukkan gagasan/pemikirannya sendiri. Pesan-pesan verbal sebagaimana tercakup dalam ucapan atau pernyataan yang disampaikan Presiden Soeharto kepada berbagai pihak lebih banyak berisi tanggapan dirinya terhadap pertanyaan, opini, sikap, dan perilaku para pejabat dan masyarakat yang dipimpinnya
Selain itu juga  Presiden Soeharto digambarkan sebagai pemimpin yang memiliki fleksibelitas dalam melaksanakan tugas dan fungsi kepemimpinannya. Isi pesan-pesan politiknya dari periode ke periode mengalami pasang-surut. Pada periode awal kepemimpinannya, yakni selama masa  jabatan pertama 1968-1973, dominasi gagasan-gagasan sendiri lebih menonjol dalam pesan-pesan politik Presiden Soeharto. Namun, pada periode pengamalan dan pematangan kepemimpinan, yakni selama masa jabatan kedua sampai kelima 1973-1993, dominasi gagasan-gagasan sendiri semakin menurun, dan kecenderungan ini diimbangi dengan meningkatnya tanggapan atau respon yang ia berikan terhadap gagasan, ucapan, dan tindakan-tindakan orang lain. Sedangkan pada periode puncak dan akhir kepemimpinannya, yakni selama masa jabatan keenam dan ketujuh 1993-1998, isi pesan-pesan politik Presiden Soeharto semakin didominasi oleh tanggapan atau respon yang ia berikan terhadap gagasan, ucapan, dan tindakan-tindakan orang lain.
Orientasi pada tugas
Potret Presiden Soeharto cenderung menunjukkan dirinya sebagai pemimpin yang lebih sering memberikan perhatian sangat umum terhadap lingkup pembangunan nasional. Dalam setiap periode kekuasaannya, ia digambarkan jarang memberi perhatian khusus pada lingkup pembangunan lokal saja atau regional saja. Dilihat dari isi pesan-pesan politiknya, pembangunan yang paling sering dibicarakan oleh Presiden Soeharto adalah pembangunan dalam lingkup nasional. Pembangunan lokal Daerah Tingkat II Kabupaten / Kotamadya dan pembangunan regional Daerah Tingkat I Propinsi relatif jarang dibicarakan oleh pemimpin Orde Baru itu.
Surat kabar juga menggambarkan Presiden Soeharto  sebagai pemimpin yang memberikan perhatian pada pembangunan daerah pedesaan dan perkotaan tanpa membedakan diantara keduanya. Presiden Soeharto jarang membicarakan pembangunan yang orientasinya hanya daerah perkotaan atau hanya daerah perdesaan. Dalam media massa ia lebih sering ditampilkan sebagai pemimpin yang membicarakan tentang pembangunan secara keseluruhan, baik daerah perkotaan maupun daerah perdesaan. Selain itu, ia juga digambarkan sebagai pemimpin yang memberi perhatian umum terhadap pelaksanaan pembangunan wilayah. Ia jarang digambarkan sebagai pemimpin yang memberi perhatian khusus pada pembangunan wilayah Barat saja atau wilayah Timur saja.
Hasil analisis juga menunjukkan, Presiden Soeharto cenderung direpresentasikan sebagai seorang pemimpin yang lebih mementingkan pembangunan ekonomi dibanding pembangunan sektor-sektor lainnya. Baik pada periode awal, periode pengamalan dan pematangan, maupun pada periode puncak dan akhir kepemimpinannya, topik pembangunan yang paling sering dibicarakan oleh Presiden Soeharto adalah ekonomi. Dari sektor-sektor pembangunan yang pernah dibicarakannya, dua sektor yang paling sering dibicarakan Presiden Soeharto adalah sektor Hankam, dan sektor Politik, Aparatur Negara, Penerangan, Komunikasi, dan Media Massa. Topik yang paling jarang dibicarakan pemimpin tersebut adalah topik pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK).
Cara mempengaruhi orang lain
Presiden Soeharto digambarkan sebagai seorang pemimpin yang otoriter, yang menerapkan gaya kepemimpinan coercive, yang selalu menginginkan agar perintah dan instruksinya dipatuhi orang lain dengan segera. Dalam berita surat kabar Presiden Soeharto cenderung ditampilkan lebih mementingkan keselamatan dan kelangsungan pembangunan nasional. Demikian pentingnya hal itu sehingga bagian besar perintah dan instruksi yang disampaikan Presiden Soeharto kepada orang lain berisi permintaan agar keselamatan dan kelangsungan pembangunan nasional selalu diprioritaskan.
Selain itu, alasan yang juga sering dijadikan landasan argumentasi Presiden Soeharto ketika meminta orang lain untuk mematuhi pesan-pesannya adalah perlunya memelihara persatuan dan kesatuan bangsa, upaya mempertahankan stabilitas politik, upaya menciptakan masyarakat adil dan makmur, upaya membangun kehidupan demokrasi, dan upaya lainnya.
Ketika ia meminta orang lain agar mau mematuhi pesan-pesannya, Presiden Soeharto biasanya memilih kata-kata atau kalimat tertentu. Ia lebih sering menggunakan kata-kata atau kalimat netral dibanding membujuk (persuasive) atau memerintah (instructive atau coercive). Kesan yang dapat ditimbulkan dari cara menyampaikan perintah atau instruksi yang demikian adalah bahwa pada akhirnya perintah atau instruksi Presiden Soeharto diserahkan kepada masing-masing orang untuk menentukan sikap; apakah mematuhi atau tidak mematuhi pesan-pesan itu. Hasil analisis menunjukkan, Presiden Soeharto lebih sering menggunakan kata dan kalimat yang sifatnya netral ketika menyampaikan pesan-pesan politik kepada berbagai pihak.
Meskipun demikian, penjelasan yang disampaikan Presiden Soeharto umumnya hanya berupa penjelasan tentang arti kata / istilah, ungkapan, dan kalimat-kalimat yang diucapkannya. Ia jarang sekali memberikan penjelasan yang bersifat mendorong penggunaan logika agar orang lain secara sadar dan sukarela mau menerima pesan-pesan yang disampaikannya. Kepada orang-orang yang menjadi sasaran pesan-pesannya, ia jarang memberikan contoh-contoh penerapan pesan, menjelaskan manfaat apabila pesan itu diikuti, atau menjelaskan akibat apabila pesan itu tidak diikuti. Tujuan komunikasi yang dilakukan Presiden Soeharto tampaknya hanya agar orang lain menjadi mengetahui, tetapi tidak sampai pada taraf memahami, mencoba, dan memutuskan untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu.
Kepribadian
Menurut penulis Presiden Soeharto adalah seorang pemimpin yang sederhana, tidak suka menonjolkan diri di hadapan orang lain. Ketika berbicara dengan orang lain atau menyampaikan pesan-pesan kepada bawahan atau orang-orang yang dipimpinnya dalam berbagai organisasi, ia tidak suka menunjukkan keberhasilan atau jasa-jasa yang dimilikinya.
Apabila ia berusaha menonjolkan diri sendiri, cara yang digunakan Presiden Soeharto biasanya adalah mengemukakan pengalaman atau jasa-jasa yang pernah diberikannya kepada bangsa dan negara pada masa lalu. Dalam menyampaikan pesan-pesan kepada bawahan dan orang-orang yang dipimpinnya, Presiden Soeharto berusaha menunjukkan jasanya yang besar dalam membela bangsa dan negara Indonesia, berani melawan musuh-musuh negara baik pada masa perjuangan kemerdekaan maupun pada masa pemberontakan G30S/PKI, dan keberhasilannya dalam penyelenggaraan pembangunan nasional.

Keberhasilan dan Kegagalan yang Dihasilkan Dari Gaya kepemimpinan Soeharto    
Orde Baru berlangsung dari tahun 1968 hingga 1998. Dalam jangka waktu tersebut, kepemimpinan mantan Presiden Soeharto telah memberikan berbagaai kemajuan dan juga kemundurun. Hal ini dikarenakan kebijakan yang beliau ambil tergantung kepada gaya kepemimpinan yang beliau anut. Kekurangan dan kelebihan dari gaya kepemimpinan Soeharto yaitu:

Kegagalan Dari Gaya Kepemimpinan Soeharto                                        
v  Politik
            Presiden Soeharto memulai "Orde Baru" dalam dunia politik Indonesia dan secara dramatis mengubah kebijakan luar negeri dan dalam negeri dari jalan yang ditempuh Soekarno pada akhir masa jabatannya. Salah satu kebijakan pertama yang dilakukannya adalah mendaftarkan Indonesia menjadi anggota PBB lagi. Indonesia pada tanggal 19 September 1966 mengumumkan bahwa Indonesia "bermaksud untuk melanjutkan kerjasama dengan PBB dan melanjutkan partisipasi dalam kegiatan-kegiatan PBB", dan menjadi anggota PBB kembali pada tanggal 28 September 1966, tepat 16 tahun setelah Indonesia diterima pertama kalinya. Ini merupakan langkah awal dari ketergantungan Indonesia terhadapa modal asing.
            Pada tahap awal, Soeharto menarik garis yang sangat tegas. Orde Lama atau Orde Baru. Pengucilan politik - di Eropa Timur sering disebut lustrasi - dilakukan terhadap orang-orang yang terkait dengan Partai Komunis Indonesia. Sanksi kriminal dilakukan dengan menggelar Mahkamah Militer Luar Biasa untuk mengadili pihak yang dikonstruksikan Soeharto sebagai pemberontak. Pengadilan digelar dan sebagian dari mereka yang terlibat "dibuang" ke Pulau Buru.
            Sanksi nonkriminal diberlakukan dengan pengucilan politik melalui pembuatan aturan administratif. Instrumen penelitian khusus diterapkan untuk menyeleksi kekuatan lama ikut dalam gerbong Orde Baru. KTP ditandai ET (eks tapol). Orde Baru memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan utamanya dan menempuh kebijakannya melalui struktur administratif yang didominasi militer namun dengan nasehat dari ahli ekonomi didikan Barat. DPR dan MPR tidak berfungsi secara efektif. Anggotanya bahkan seringkali dipilih dari kalangan militer, khususnya mereka yang dekat dengan Cendana. Hal ini mengakibatkan aspirasi rakyat sering kurang didengar oleh pusat. Pembagian PAD juga kurang adil karena 70% dari PAD tiap provinsi tiap tahunnya harus disetor kepada Jakarta, sehingga melebarkan jurang pembangunan antara pusat dan daerah.
            Soeharto siap dengan konsep pembangunan yang diadopsi dari seminar Seskoad II 1966 dan konsep akselerasi pembangunan II yang diusung Ali Moertopo. Soeharto merestrukturisasi politik dan ekonomi dengan dwitujuan, bisa tercapainya stabilitas politik pada satu sisi dan pertumbuhan ekonomi di pihak lain. Dengan ditopang kekuatan Golkar, TNI, dan lembaga pemikir serta dukungan kapital internasional, Soeharto mampu menciptakan sistem politik dengan tingkat kestabilan politik yang tinggi.
v  Eksploitasi sumber daya
            Selama masa pemerintahannya, kebijakan-kebijakan ini, dan pengeksploitasian sumber daya alam secara besar-besaran menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang besar namun tidak merata di Indonesia. Contohnya, jumlah orang yang kelaparan dikurangi dengan besar pada tahun 1970-an dan 1980-an.
v  Diskriminasi terhadap Warga Tionghoa
            Warga keturunan Tionghoa juga dilarang berekspresi. Sejak tahun 1967, warga keturunan dianggap sebagai warga negara asing di Indonesia dan kedudukannya berada di bawah warga pribumi, yang secara tidak langsung juga menghapus hak-hak asasi mereka. Kesenian barongsai secara terbuka, perayaan hari raya Imlek, dan pemakaian Bahasa Mandarin dilarang, meski kemudian hal ini diperjuangkan oleh komunitas Tionghoa Indonesia terutama dari komunitas pengobatan Tionghoa tradisional karena pelarangan sama sekali akan berdampak pada resep obat yang mereka buat yang hanya bisa ditulis dengan bahasa Mandarin. Mereka pergi hingga ke Mahkamah Agung dan akhirnya Jaksa Agung Indonesia waktu itu memberi izin dengan catatan bahwa Tionghoa Indonesia berjanji tidak menghimpun kekuatan untuk memberontak dan menggulingkan pemerintahan Indonesia.
            Satu-satunya surat kabar berbahasa Mandarin yang diizinkan terbit adalah Harian Indonesia yang sebagian artikelnya ditulis dalam bahasa Indonesia. Harian ini dikelola dan diawasi oleh militer Indonesia dalam hal ini adalah ABRI meski beberapa orang Tionghoa Indonesia bekerja juga di sana. Agama tradisional Tionghoa dilarang. Akibatnya agama Konghucu kehilangan pengakuan pemerintah.
            Pemerintah Orde Baru berdalih bahwa warga Tionghoa yang populasinya ketika itu mencapai kurang lebih 5 juta dari keseluruhan rakyat Indonesia dikhawatirkan akan menyebarkan pengaruh komunisme di Tanah Air. Padahal, kenyataan berkata bahwa kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai pedagang, yang tentu bertolak belakang dengan apa yang diajarkan oleh komunisme, yang sangat mengharamkan perdagangan dilakukan. Orang Tionghoa dijauhkan dari kehidupan politik praktis. Sebagian lagi memilih untuk menghindari dunia politik karena khawatir akan keselamatan dirinya.
v  Perpecahan bangsa
            Di masa Orde Baru pemerintah sangat mengutamakan persatuan bangsa Indonesia. Setiap hari media massa seperti radio dan televisi mendengungkan slogan "persatuan dan kesatuan bangsa". Salah satu cara yang dilakukan oleh pemerintah adalah meningkatkan transmigrasi dari daerah yang padat penduduknya seperti Jawa, Bali dan Madura ke luar Jawa, terutama ke Kalimantan, Sulawesi, Timor Timur, dan Irian Jaya. Namun dampak negatif yang tidak diperhitungkan dari program ini adalah terjadinya marjinalisasi terhadap penduduk setempat dan kecemburuan terhadap penduduk pendatang yang banyak mendapatkan bantuan pemerintah. Muncul tuduhan bahwa program transmigrasi sama dengan jawanisasi yang disertai sentimen anti-Jawa di berbagai daerah, meskipun tidak semua transmigran itu orang Jawa.
            Pada awal Era Reformasi konflik laten ini meledak menjadi terbuka antara lain dalam bentuk konflik Ambon dan konflik Madura-Dayak di Kalimantan. Sementara itu gejolak di Papua yang dipicu oleh rasa diperlakukan tidak adil dalam pembagian keuntungan pengelolaan sumber alamnya, juga diperkuat oleh ketidaksukaan terhadap para transmigra
v  Semaraknya korupsi, kolusi, nepotisme
v  Pembangunan Indonesia yang tidak merata dan timbulnya kesenjangan pembangunan antara pusat dan daerah, sebagian disebabkan karena kekayaan daerah sebagian besar disedot ke pusat munculnya rasa ketidakpuasan di sejumlah daerah karena kesenjangan pembangunan, terutama di Aceh dan Papua kecemburuan antara penduduk setempat dengan para transmigran yang memperoleh tunjangan pemerintah yang cukup besar pada tahun-tahun pertamanya
v  Bertambahnya kesenjangan sosial (perbedaan pendapatan yang tidak merata bagi si kaya dan si miskin)
v  Kritik dibungkam dan oposisi diharamkan kebebasan pers sangat terbatas, diwarnai oleh banyak koran dan majalah yang dibreidel penggunaan kekerasan untuk menciptakan keamanan, antara lain dengan program "Penembakan Misterius" (petrus)
v  Tidak ada rencana suksesi (penurunan kekuasaan ke pemerintah/presiden selanjutnya)

Keberhasilan yang Dihasilkan Dari Gaya Kepemimpinan Soeharto         
          Walaupun terdapat berbagai kekurangan dari pemerintahan Soeharto tapi tidak dapat dipungkiri bahwa pada masa pemerintahan Soeharto Indonesia menjadi salah satu negara kaya dan disegani negara lain. kelebihan          
1.      Kelebihan sistem Pemerintahan Orde Baru perkembangan GDP per kapita Indonesia yang pada tahun 1968 hanya AS$70 dan pada 1996 telah mencapai lebih dari AS$1.000
2.      Kemajuan sektor migas
                        Puncaknya adalah penghasilan dari migas yang memiliki nilai sama dengan 80% ekspor Indonesia. Dengan kebijakan itu, Indonesia di bawah Orde Baru, bisa dihitung sebagai kasus sukses pembangunan ekonomi.
                        Keberhasilan Pak Harto membenahi bidang ekonomi sehingga Indonesia mampu berswasembada pangan pada tahun 1980-an, menurut Emil Salim, diawali dengan pembenahan di bidang politik. Kebijakan perampingan partai dan penerapan azas tunggal ditempuh pemerintah Orde Baru, dilatari pengalaman masa Orde Lama ketika politik multi partai menyebabkan energi terkuras untuk bertikai.
          Gaya kepemimpinan tegas seperti yang dijalankan Suharto pada masa Orde Baru memang dibutuhkan untuk membenahi perekonomian Indonesia yang berantakan di akhir tahun 1960. Namun, dengan menstabilkan politik demi pertumbuhan ekonomi, yang sempat dapat dipertahankan antara 6%-7% per tahun, semua kekuatan yang berseberangan dengan Orde Baru kemudian tidak diberi tempat.
3.      Swasembada beras
            Seperti pepatah From Zero to Hero itulah kebijakan yang dilakukan oleh HM. Soeharto pada masa pemerintahannya. Saat itu Indonesia menjadi pengimpor beras terbesar didunia, namun oleh Soeharto ini dijadikan motivasi untuk menjadikan Indonesia sebagai lumbung beras dunia. Puncaknya adalah ketika pada 1984 Indonesia dinyatakan mampu mandiri dalam memenuhi kebutuhan beras atau mencapai swasembada pangan. Prestasi itu membalik kenyataan, dari negara agraria yang mengimpor beras, kini Indonesia mampu mencukupi kebutuhan pangan di dalam negeri. Pada tahun 1969 Indonesia memproduksi beras sekitar 12,2 juta ton beras tetapi tahun 1984 bisa mencapai 25,8 juta ton.
4.      Sukses transmigrasi
5.      Sukses Program  KB
6.      Sukses memerangi buta huruf
7.      Sukses swasembada pangan
8.      Pengangguran minimum
9.      Sukses REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun)
10.  Sukses Gerakan Wajib Belajar
11.  Sukses Gerakan Nasional Orang-Tua Asuh
12.  Sukses keamanan dalam negeri
13.  Investor asing mau menanamkan modal di Indonesia.
Sukses menumbuhkan rasa nasionalisme dan cinta produk dalam neg





Share this article :

+ comments + 2 comments

June 2, 2013 at 6:03 AM

Saya tertarik tulisan ini.. bagus.. email anda apa atau twitter? saya ingin diskusi soal tulisan ini. twitter saya @rachmayanto

July 26, 2013 at 3:14 AM

http://dengarsuarahati1.blogspot.com/2013/07/seperti-apa-karakter-kepemimpinan-anda.html
....buat referensi bagus juga

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. #11 - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger